TEORI
LOKASI (PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA)
1.Teori
Klasik
Menurut
Reksohadiprojo-Karseno (1985) Teori sewa dan lokasi
tanah, pada dasarnya
merupakan bagian dari teori mikro tentang alokasi dan penentuan harga-harga
faktor produksi. Seperti halnya upah yang merupakan “harga” bagi jasa tenaga
kerja, maka sewa tanah adalah harga atas jasa sewa tanah.
David Ricardo, berpendapat bahwa
penduduk akan tumbuh sedemikian rupa sehingga tanah-tanah yang tidak subur akan
digunakan dalam proses produksi, dimana sudah tidak bermanfaat lagi bagi
pemenuhan kebutuhan manusia yang berada pada batas minimum kehidupan. Sehingga,
“sewa tanah akan sama dengan penerimaan dikurangi harga faktor produksi bukan
tanah di dalam persaingan sempurna dan akan proporsional dengan selisih
kesuburan tanah tersebut atas tanah yang paling rendah tingkat kesuburannya.
Berkenaan
dengan kota, biasanya tingginya nilai tanah bukanlah tingkat kesuburan tanah
tersebut, tetapi lebih sering dikaitkan dengan jarak atau letak tanah
(Reksohadiprojo-Karseno, 1985:25).
VonThunen, Tanah yang letaknya paling jauh dari
kota memiliki sewa sebesar 0 dan sewa tanah itu meningkat secara linear kearah
pusat kota, dimana proporsional dengan biaya angkutan per ton/km. Semua tanah
yang memiliki jarak yang sama terhadap kota memiliki harga sewa yang sama
(Reksohadiprojo-Karseno, 1985:25).
2.
Teori Neo Klasik
Menyebutkan
bahwa suatu barang produksi dengan menggunakan beberapa macam faktor produksi,
misalnya tanah, tenaga kerja dan modal. Baik input maupun hasil dianggap
variabel. Substitusi diantara berbagai penggunaan faktor produksi dimungkinkan.
Agar dicapai keuntungan maksimum, maka seorang produsen akan menggunakan faktor
produksi sedemikian rupa sehingga diperoleh keuntungan maksimum.
1.1.Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt
Teori
Von Thunen telah mulai dikenal sejak abad ke 19. teorinya mencoba untuk
menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti luas yang berkembang
disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi pertanian tersebut.
Ia berpendapat bahwa bila suatu laboratorium dapat diciptakan berdasarkan atas
tujuh asumsi, maka daerah lokasi jenis pertanian yang berkembang akan mengikuti
pola tertentu. Ketujuh asumsi tersebut adalah:
1. Terdapat suatu daerah
terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya yang
merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi
pertanian;
2. Daerah perkotaan
tersebut merupakan daerah penjumlahan kelebihan produksi daerah pedalaman dan
tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain;
3. Daerah pedalaman
tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain, kecuali ke daerah perkotaan
tersebut;
4. Daerah pedalaman
merupakan daerah berciri sama dan cocok untuk tanaman dan peternakan dataran
menengah;
5. Daerah pedalaman
dihuni oleh petani yang berusaha untuk mempeoleh keuntungan maksimum dan mampu
untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan peemintaan yang
terdapat di daerah perkotaan;
6. Satu-satunya angkutan
yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat berupa gerobak yang dihela
oleh kuda;
7. Biaya angkutan
ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh.
Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
Burges
menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota (Control Business Distric atau
CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor,
pusat pertokoan, bank dan perhotelan. Asumsinya semakin jauh dari CBD nilai
rent ekonomi kawasan tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada
factor jarak mutasi ketempat kerja dan tempat belanja merupakan factor utama
dalam tata guna lahan diperkotaan.
Homer
Hoyt mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan berdasarkan kedudukan
relatif tempat kerja dan belanja terhadap tempat pemukiman. Hasil analisis Hoyt
adalah system jaringan transpotasi seperti keadaan sebenarnya, Hoyt
menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut mampu memberikan jangkauan
yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu.
2.2.3 Teori Alfred Weber
Teori
Weber (Balow, 1978) biasa disebut dengan teori biaya terkecil. Dalam teori
tersebut Weber mengasumsikan:
1. Bahwa daerah yang
menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat
pada pusat-pusat tertentu. Semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang
tidak terbatas dan persaingan sempurna.
2. Semua sumber daya
alam tersedia secara tidak terbatas.
3. Barang-barang lainnya
seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas pada
sejumlah tempat.
4. Tenaga kerja tidak
tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya
tinggi.
Weber
berpendapat ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya
transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi
diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang,
sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan
pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang minimum. Dipandang dari
segi tata guna lahan model Weber berguna untuk merencankan lokasi industri
dalam rangka mensupli pasar wilayah, pasar nasional dan pasar dunia. Dalam
model ini, fungsi tujuan biasanya meminimumkan ongkos transportasi sebagai
fungsi dari jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output).
Kritikan
atas model ini terutama pada asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang
bersifat konstan, tidak memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan
pada posisi input.
2.2.4 Land Rent Lokasi dan Pasar Lahan
Barlow
(1978:75) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya
lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan sektor yang komersial dan
strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga sektor tersebut berada pada
kawasan strategis mempunyai land rent yang tinggi, sehingga sektor tersebut
berada pada kawasan strategis, sebaliknya sektor yang kurang mempunyai nilai
komersial maka nilai rentnya semakin kecil. Land rent diartikan sebagai
locational rent.
Lahan
termasuk didalamnya lahan sawah, dalam kegiatan produksi merupakan salah satu
faktor produksi tetap. Barlow mengemukakan bahwa nilai rent sumber daya lahan
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Sewa kontrak
(contract rent)
2. Sewa lahan (land
rent)
3. Nilai rent ekonomi
dari lahan (Economic rent)
Economic
rent sama dengan surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai produksi total
diatas biaya total. Menurut Anwar (1990:28) suatu lahan sekurang-kurangnya
memiliki empat jenis rent, yaitu:
1. Ricardian rent,
menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan;
2. Locational rent,
menyangkut fungsi eksesibilitas lahan;
3. Ecological rent,
menyangkut fungsi ekologi lahan;
4. Sosiological rent,
menyangkut fungsi sosial dari lahan.
Umumnya
land rent yang merupakan cermin dari mekanisme pasar hanya mencakup ricardian
rent dan locational rent, sedangkan ecological rent dan sosiological rent tidak
sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar.
Secara
fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh kemungkinan
penurunan nilai dan harga serta tidak dipengaruhi oleh faktor waktu, secara
fisik pula lahan merupakan aset yang mempunyai keterbatasan dan tidak dapat
bertambah besar, misalnya dengan melalui usaha reklamasi. Lahan secara fisik
tidak dapat dipindahkan, walaupun fungsi dan penggunaan lahan (land function
and use) dapat berubah tetapi lahannya sendiri bersifat stationer (tetap). Atas
dasar sifat ini, ketentuan penetapan harga lahan akan sangat bersifat spesifik
yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran/persediaan (demand and supply)
lahan pada suatu wilayah tertentu. Pertimbangan faktor lokasi didalam penentuan
harga lahan untuk berbagai penggunaan tidak sama. Hal ini sangat ditentukan
oleh pertimbangan tata ruang (Sujarto, 1986:55).
Pertumbuhan
ekonomi wilayah merupakan resultante dari berbagai faktor. Ukuran yang umum
digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah
pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dari wilayah yang
bersangkutan. Pada dasarnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan mendorong
perubahan yang meningkat pada permintaan lahan untuk berbagai kebutuhan,
seperti pertanian, industri, jasa dan kegiatan lainnya.
Penggunaan
konversi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara
keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor
ekonomi tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan sektor tersebut akan membutuhkan lahan
yang lebih kuas. Apabila lahan sawah letaknya lebih dekat dengan sumber ekonomi
maka akan menggeser penggunaannya kebentuk lain seperti pemukiman, industri
manufaktur dan fasilitas infrastruktur.
Hal
ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru
lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Namun konversi lahan sawah yang
terjadi ditentukan juga oleh pertumbuhan sektor tanaman pangan, dalam hal ini
memberikan proksi mengenai nilai hasil sawah. Apabila nilai PDRB sektor tanaman
pangan relatif cukup tinggi terhadap nilai produksi kotor daerah (PDRB)
keseluruhan, maka konversi lahan sawah mungkin masih dapat dihindari (Anwar,
1993:25).
Kawasan Perkotaan dan Urbanisasi
Migrasi
besar-besaran dikota merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
peningkatan jumlah penduduk dikota-kota seperti umumnya yang terjadi di negara
sedang berkembang. Proses migrasi sering menimbulkan gejala yang tidak
diharapkan di kotya-kota besar tersebut, seperti meningkatnya jumlah angkatan
kerja yang belum mampu terserap dalam lapangan kerja yang produktif, tidak
memadainya fasilitas kehidupan, timbulnya pemukiman kumuh hingga masalah
lingkungan.
Pertambahan
jumlah penduduk dikawasan pinggiran secara akumulatif ikut menambah luas
kawasan kota karena realokasi kawasan. Semakin berkembangnya kawasanperkotaan
tersebut diduga sangat erat hubungannya dengan proses konversi lahan sawah
karena selain merupakan pasar potensial bagi kawasan industri juga merupakan
pasar potensial bagi pembangunan pemukiman maupun pembangunan sarana prasarana
lainnya. Akibatnya, lahan disekitar pinggiran perkotaan tersebut akan terjadi
proses realokasi, jika lahannya lahan sawah akan terkonversi secara alamiah
atau dipaksa untuk dikonversi.
Pertumbuhan
penduduk juga menyebabkan kebutuhan akan pangan yang harus dipenuhi oleh sektor
pertanian meningkat pula, yang berarti juga kebutuhan akan lahan pertanian
mengalami peningkatan sebagai upaya penyediaan pangan (Sugandhy, 1994:23). Menurut
Malthus dalam Reksohadiprodjo dan Pradono (1996:17) terdapat kecenderungan kuat
pertumbuhan penduduk lebih cepat dari pertumbuhan pasok bahan makanan terutama
disebabkan areal lahan adalah tetap, masalah yang berkaitan dengan lahan tidak
hanya menyangkut perbandingan antara jumlah penduduk yang terus bertambah dan
luas lahan yang tersedia, tetapi juga menyangkut persaingan yang makin lama
makin intensif dalam mendapatkan lokasi. Persaingan terjadi untuk memperebutkan
lokasi-lokasi seputar pusat kegiatan atau paling dekat dengan pusat dimana
fasilitas-fasilitas kota tersedia. Dalam keadaan demikian, lahan sawah akan
mendapatkan tekanan permintaan untuk penggunaan bagi kepentingan kegiatan
diluar pertanian.
Teori Tempat Sentral
Christaller
dengan model tempat sentral (central lace model) mengemukaka bahwa
tanah yang positif adalah tanah yang mendukung pusat kota. Pusat kota tersebut
ada karena untuk berbagai jasa penting harus disediakan tanah/lingkungan
sekitar. Secara ideal maka kota merupakan pusat daerah yang produktif. Dengan
demikian apa yang disebut tempat sentral adalah pusat kota
(Reksohadiprojo-Karseno, 1993:24).
Berdasarkan
prinsip aglomerasi (scale economics atau ekonomi
skala menuju efisiensi atau kedekatan menuju sesuatu), ekonomi kota besar
menjadi pusat daerahnya sendiri dan pusat kegiatan kota yang lebih kecil.
Artinya, kota kecil bergantung pada tersedianya dan adanya kegiatan yang ada
pada kota besar. Oleh karena itu, apabila orang yang berada di luar kota besar
ingin membeli sesuatu dapat membeli di toko sekitar tempat tinggalnya (convinience
buying).
Tetai, bila ia ingin membeli bermacam barang maka, dia akan pergi ke kota-kota/multipurpose
trip(Reksohadiprojo-Karseno,1993:35).
Dalam
hubungan antara kota dengan rumah tinggal, Christaller mengatakan bahwa rumah
tangga memaksimalkan keguanaan atau kepuasan dalam rangka pemilihan tempat
tinggal atau pemukiman. Jadi orang yang dikirim ke kota dan bukan barang (commuting). Merupakan
perluasan teori perilaku konsumen, dimana konsumen memaksimalkan konsumsi
rumah, barang dan jasa lain terbatas oleh anggaran yang terdiri dari
penghasilan uang dan penghasilan yang hilang karena aktifitas commutingyang berupatarif
angkutan dan biaya operasional kendaraan yaitu bensin, pemeliharaan dan perbaikan
(Reksohadiprojo-Karseno, 1993:40).
Teori
Pengembangan Wilayah
Pola
Dasar Tata Kota
1.
Teori Konsentrik
Teori
konsentrik yang diciptakan oleh E.W. Burgess ini didasarkan pada pengamatanya
di Chicago pada tahun 1925, E.W. Burgess menyatakan bahwa perkembangan suatu
kota akan mengikuti pola lingkaran konsentrik, dimana suatu kota akan terdiri
dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus
mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda.
Sumber:
(Yunus 2000:15)0
Keterangan
:
1)
Daerah pusat bisnis atau The Central Bussiness
District (CBD)
2)
Daerah Transisi atau The Zone of Transition
3)
Daerah pemukiman para pekerja atau The Zone of
Workkingmen’s homes
4)
Daerah tempat tinggal golongan kelas menengah atau The
Zone of Middle Class Develiers
5)
Daerah para penglaju atau The Commuters Zone
Karakteristik
masing-masing zona dapat diuraikan sebagai berikut:
Zona
1: Daerah Pusat Bisnis
Zona
ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail
Business District). Merupakan daerahpaling dekat dengan pusat kota. Di daerah
ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di
luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh
bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar
antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan
lebih lama.
Zona
2 : Daerah Transisi
Adalah
daerah yang mengitari pusat bisnis dan merupakan daerah yang mengalami
penurunan kualitas lingkungan pemukiman yang terus menerus. Daerah ini banyak
dihuni oleh lapisan bawah atau mereka yang berpenghasilan rendah.
Zona
3 : Daerah pemukiman para pekerja
Zona
ini banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja pabrik, industri. Kondisi
pemukimanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan daerh transisi. Para pekerja
di sini berpenghasilan lumayan saja sehingga memungkinkan untuk hidup sedikit
lebih baik.
Zona
4 : Daerah pemukiman yang lebih baik
Daerah
ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari orang-orang yang profesional,
pemilik usaha/bisnis kecil-kecilan, manajer, para pegawai dan lain sebagainya.
Fasilitas pemukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal
dapat dirasakan pada zona ini.
Zona
5 : Daerah para penglaju
Merupakan
daerah terluar dari suatu kota, di daerah ini bermunculan perkembangan
permukiman baru yang berkualitas tinggi. Daerah ini pada siang hari boleh
dikatakan kosong, karena orang-orangnya kebanyakan bekerja.
Ciri
khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap
daerah dalam cenderung memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah
luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan-urutan yang dikenal sebagai
rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses
ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk.
Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung
menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah
transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis
ini akan menciptakan daerah kumuh komersial dan perkampungan. Sedangkan
interprestasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat
dengan pusat kota semakin mahal harga tanah.
1. Teori Sektor
Teori
ini dikemukakan oleh Humer Hyot (1939), menyatakan bahwa perkembangan kota
terjadi mengarah melalui jalur-jalur sektor tertentu. Sebagian besar daerah
kota terletak beberapa jalur-jalur sektor dengan taraf sewa tinggi, sebagian
lainnya jalur-jalur dengan tarif sewa rendah yang terletak dari dekat pusat
kearah pinggiran kota. Dalam perkembangannya daerah-daerah dengan taraf sewa
tinggi bergerak keluar sepanjang sektor atau dua sektor tertentu (Spillane dan
Wan, 1993:19).
Menurut
Humer Hyot kecenderungan pendudk untuk bertempat tinggal adalah pada
daerah-daerah yang dianggap nyaman dalam arti luas. Nyaman dapat diartikan
dengan kemudahan-kemudahan terhada fasilitas, kondisi lingkungna baik alami
maupun non alami yang bersih dari polusibaik fiskal maupun nonfiskal, prestise
yang tinggi dan lain sebagainya.
Sumber:
(Yunus,2000:26)
Keterangan
:
1) Daerah Pusat Bisnis
2) Daerah Industri
ringan dan perdagangan
3) Daerah pemukiman
kelas rendah
4) Daerah pemukiman
kelas menengah
5) Daerah pemukiman
kelas tinggi
Secara
garis besar zona yang ada dalam teori sektor dapat dijelaskan sebagai berikut :
Zona
1: Daerah Pusat Bisnis
Deskripsi
anatomisnya sama dengan zona 1 dalam teori konsentris, merupakan pusat kota dan
pusat bisnis.
Zona
2: Daerah Industri Kecil dan Perdagangan
Terdiri
dari kegiatan pabrik ringan, terletak diujung kota dan jauh dari kota
menjari ke arah luar. Persebaran zona ini dipengaruhi oleh peranan jalur
transportasi dan komunikasi yang berfungsi menghubungkan zona ini dengan pusat
bisnis.
Zona
3: Daerah pemukiman kelas rendah
Dihuni
oleh penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah. Sebagian zona ini
membentuk persebaran yang memanjang di mana biasanya sangat dipengaruhi oleh
adanya rute transportasi dan komunikasi. Walaupun begitu faktor penentu
langsung terhadap persebaran pada zona ini bukanlah jalur transportasi dan
komunikasi melainkan keberadaan pabrik-pabrik dan industri-industri yang
memberikan harapan banyaknya lapangan pekerjaan.
Zona
4: Daerah pemukiman kelas menengah
Kemapanan
Ekonomi penghuni yang berasal dari zona 3 memungkinkanya tidak perlu lagi
bertempat tinggal dekat dengan tempat kerja. Golongan ini dalam taraf kondisi
kemampuan ekonomi yang menanjak dan semakin baik.
Zona
5: Daerah pemukiman kelas tinggi
Daerah
ini dihuni penduduk dengan penghasilan yang tinggi. Kelompok ini disebut
sebagai “status seekers”,yaitu orang-orang
yang sangat kuat status ekonominya dan berusaha mencari pengakuan orang lain
dalam hal ketinggian status sosialnya.
1. Teori Pusat Kegiatan
Banyak
Dikemukakan
oleh Harris dan Ulman, menurut pendapatnya kota-kota besar tumbuh sebagai suatu
produk perkembangan dan integrasi terus-menerus dari pusat-pusat kegiatan yang
terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan dan proses pertumbuhannya
ditandai oleh gejala spesialisasi dan diferensiasi ruang (Yunus, 2000:45).
Gambar
2.3 Model pusat kegiatan banyak menurut Haris-Ulman
Sumber:
(yunus, 2000:47)
Keterangan:
1)
Daerah Pusat Bisnis
2) Daerah Industri
ringan dan perdagangan
3) Daerah pemukiman
kelas rendah
4) Daerah pemukiman
kelas menengah
5)
Daerah pemukiman kelas tinggi
6)
Daerah industri berat
7)
Daerah bisnis
8)
Daerah tempat tinggal pinggiran
9)
Daerah industri di daerah pinggiran
Zone-
zone keruangan berdasarkan keterangan di atas dapat dijelaskan sbagai berikut:
Zone
1: Daerah pusat bisnis
Zona
pada teori ini sama dengan zona pada teori konsentris.
Zona
2: Daerah industri ringan dan perdagangan
Persebaran
pada zona ini banyak mengelompok sepanjang jalur kereta api dan dekat dengan
daerah pusat bisnis
Zona
3: Daerah pemukiman kelas rendah
Zona
ini mencerminkan daerah yang kurang baik untuk pemukiman sehingga penghuninya
umumnya dari golongan rendah.
Zona
4: Daerah pemukiman kelas menengah
Zone
ini tergolong lebih baik daro zone 3, dikarenakan penduduk yang tinggal di sini
mempunyai penghasilan yang lebih baik dari penduduk pada zoe 3.
Zona
5: Daerah pemukiman kelas tinggi
Zone
ini mempunyai kondisi paling baik untuk permukiman dalam artian fisik maupun
penyediaan fasilitas. Lokasinya relatif jauh dari pusat bisnis, namun untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya di dekatnya dibangun daerah bisnis baru yang
fungsinya sama seperti daerah pusat bisnis.
Zona
6: Daerah industri berat
Merupakan
daerah pabrik-pabrik besar yang banyak mengalami berbagai permasalahan
lingkungan seperti pencemaran , kebisingan, kesmrawutan lalu lintas dan
sebagainya. Namun zona ini juga banyak menjanjikan berbagai lapangan pekerjaan.
Penduduk berpenghasilan rendah bertempat tinggal dekat zona ini.
Zona
7: Daerah bisnis lainnya
Zona
ini muncul seiring munculnya daera pemukiman kelas tinggi yang lokasinya jauh
dari daerah pusat bisnis, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penduduk pada daerah
ini maka diciptakan zona ini.
Zona
8: Daerah tempat tinggal di pinggiran
Penduduk
di sini sebagian besar bekerja di pusat-pusat
kota dan daerah ini hanyak husus digunakan untuk
tempat tinggal.
Zona
9: Daerah industri di daerah pinggiran
Unsur
transportasi menjadi prasyarat hidupnya zona ini. Pada perkembangan
selanjutnya dapat menciptakan pola-pola persebaran keruanganya sendiri dengan
proses serupa.
Proses
Pemekaran Kota
Suatu
kota mengalami perkembangan dri waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut
aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Khususnya mengenai
aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan maupun
penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan
arealnya yg disebut pendekatan morfologi kota atau “Urban
Morphological Approach” (Yunus, 2000:107).
Menurut
Herbert (Herbert dalam Yunus, 2000:197) Matra morfologi pemukiman menyoroti
eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati dar kenampakan kota
secara fiskal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada,
blok-blok bangunan baik dari daerah hunian ataupun bukan (perdagangan dan
industri) dan juga banguna individual.
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun kegiatan penduduk perkotaan mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar. Oleh karena ketersediaan
ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk
tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di
daerah pinggiran kota. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke
arah luar disebut”urban sprawl”.Adapun macam“urban
sprawl” sebagai
berikut: (Yunus, 2000:124)
Tipe
1: Perembetan konsentris (Concentric Development/ Low Density
continous development)
Gambar
2.4 Perembetan konsentris
Sumber:
(Yunus, 2000:126)
Dikemukakan
pertama kali oleh Harvey Clark (1971) menyebut tipe ini sebagai “lowdensity,
continous development” dan Wallace (1980) menyebut“concentric
dvelopment”.
Tipe perembetan paling lambat, berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua
bagian-bagian luar kenampakkan fisik kota yang sudah ada sehingga akan
membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang kompak. Peran transportasi
terhadap perembetannya tidak begitu besar.
Tipe
2: Perembetan memanjang (ribbon development/lineair
development/axial development)
Tipe
ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi
luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang
jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari
pusat kota. Daerah disepanjang rute transportasi merupakan tekanan paling berat
dari perkembangan (Yunus, 2000:127).
(Yunus,
2000:128)
Tipe
ini perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi-luar dari pada daerah
kota utama. Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang jalur
transportasi.
Tipe
3: Perembetan yang meloncat (leap frog
development/checkkerboard development)
Gambar
2.6 Perembetan Meloncat
Sumber:
(Yunus, 2000:129)
Perembetan
yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar
lingkungan , tidak efisien dan tidak
menarik. Perkembangan lahan kekotaanya terjadi berpencaran secara sparadis dan
tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian, sehingga cepat menimbulkan dampak
negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga penurunan
produktifitas pertanian akan lebih cepat terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar